Rabu, 12 September 2018

Hadis Arbain Ke 1 : Tentang Niat


Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab ra. Berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Urgensi Hadits
Hadits ini sangat penting karena menjadi orientasi seluruh hukum dalam Islam. Ini bisa dilihat dari pendapat para ulama. Abu Dawud berkata: “Hadits ini setengah dari ajaran Islam. Karena agama bertumpu pada dua hal: sisi lahiriyah (amal perbuatan) dan sisi bathiniyah (niat).” Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: “Hadits ini mencakup sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu dari tiga hal tersebut.”
Mengingat urgensinya, maka banyak ulama mengawali berbagai buku dan karangannya dengan hadits ini. Imam Bukhari menempatkan hadits ini di awal kitab shahihnya. Imam Nawawi menempatkan hadits ini pada urutan pertama dalam tiga bukunya: Riyadhus Shalihin, Al-Adzkar, dan Al-Arba’in An-Nawawiyah. Ini dimaksudkan agar pembaca menyadari pentingnya niat, sehingga ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan perbuatan baik yang lain.
Urgensi hadits ini juga dipertegas oleh riwayat Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkhutbah dengan hadits ini, begitu juga Umar ra.. Abu ‘Ubaid berkata: “Tidak ada hadits yang lebih luas dan padat maknanya dari hadits ini.”
Sababul Wurud (latar belakang hadits)
Imam ath-Thabrani meriwayatkan, dalam al-Mu’jam Al-Kabir, dengan sanad yang bisa dipercaya, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Di antara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki itu ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”
Sa’id Ibnu Manshur meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya, dengan sanad sebagaimana syarat Bukhari dan Muslim, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Siapa yang hijrah untuk mendapatkan kepentingan duniawi maka pahala yang didapat sebagaimana yang didapat oleh laki-laki yang hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qais, sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.”
Kandungan Hadits
1. Syarat niat.
Ulama sepakat bahwa perbuatan seorang mukmin tidak akan diterima dan tidak akan mendapat pahala kecuali jika diiringi dengan niat. Dalam ibadah inti seperti shalat, haji, puasa, niat merupakan rukun. Karenanya ibadah-ibadah tersebut tidak sah kecuali diiringi dengan niat. Adapun dalam ibadah yang merupakan sarana dari ibadah inti, seperti wudlu dan mandi, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Madzab Hanafi menyebutkan bahwa niat merupakan penyempurna untuk mendapatkan pahala. Sedangkan madzab Syafi’i dan ulama lain menyebutkan bahwa niat merupakan syarat sahnya sebuah ibadah. Oleh karena itu ibadah-ibadah tersebut tidak sah kecuali diiringi dengan niat.
2. Waktu dan tempat niat.
Waktu niat adalah di awal ibadah. Seperti: takbiratul Ihram untuk shalat, dan ihram untuk haji, sedangkan puasa maka diperbolehkan sebelumnya karena untuk mengetahui masuknya waktu subuh secara tepat cukup sulit. Niat bertempat di dalam hati, jadi tidak diisyaratkan untuk diucapkan. Namun demikian, boleh saja diucapkan untuk membantu konsentrasi hati. Juga diisyaratkan menentukan secara tepat ibadah yang hendak dilakukan, jadi tidak cukup hanya dengan berniat untuk melakukan shalat ‘secara umum’, namun harus ditentukan, shalat dzuhur atau asyar atau lainnya.
3. Keharusan hijrah.
Hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam adalah wajib bagi seorang Muslim jika ia tidak bisa melakukan ajaran Islam dengan terang-terangan. Hukum ini berlaku secara umum dan tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Sedangkan hadits yang mengatakan: “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah (Penaklukan kota Makkah).” Maka yang dimaksud adalah tidak ada hijrah dari Makkah setelah peristiwa Fathu Makkah karena Makkah sudah menjadi negeri Islam. Kata hijrah juga digunakan untuk hal-hal yang dilarang Allah. Orang yang menjauhi hal-hal yang dilarang Allah, disebut Muhajir.
4. Orang yang berniat melakukan kebaikan, namun karena satu atau hal lain –misalnya sakit parah ataupun meninggal dunia- sehingga ia tidak bisa melaksanakannya, maka ia tetap akan mendapatkan pahala. Al-Baidhawi berkata: “Amal ibadah tidak akan sah kecuali diiringi dengan niat. Karena, niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal, ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.
5. Hadits ini mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta kemudahan dan kebahagiaan di dunia.
6. Semua perbuatan baik dan bermanfaat, jika diiringii niat yang ikhlas dan hanya mencari keridlaan Allah, maka perbuatan tersebut adalah ibadah.

Hadis Arbain Ke 2 : Tentang Islam, Iman, Ihsan dan Tanda Hari Kiamat


Umar bin al-Kaththab ra berkata: Suatu hari kami duduk dekat Rasulullah saw., tiba-tiba muncul seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya hitam legam. Tak terlihat tanda-tanda bekas perjalanan jauh, dan tak seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Ia duduk di depan Nabi, lututnya ditempelkan di lutut beliau, dan kedua tangannya diletakkan di paha beliau, lalu berkata: “Hai Muhammad. Beritahu aku tentang Islam.” Rasulullah saw. menjawab: “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadlan dan menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau mampu.” Laki-laki itu berkata: “Benar.” Kami heran kepadanya; bertanya tetapi setelah itu membenarkan jawaban Nabi?!
Ia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang iman.” Nabi menjawab: “Iman itu engkau beriman kepada Allah , malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan takdir, yang baik atau yang buruk.” Ia berkata: “Benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang Ihsan.” Nabi menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Laki-laki itu berkata lagi: “Beritahu aku kapan terjadinya kiamat.” Nabi menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi: “Beritahu aku tanda-tandanya.” Nabi menjawab: “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya, orang yang bertelanjang kaki dan tidak memakai baju (orang miskin), dan penggembala kambing saling berlomba mendirikan bangunan megah.” Kemudian laki-laki itu pergi. Aku diam beberapa waktu. Setelah itu Nabi bertanya kepadaku: “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya tadi? Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia itu Jibril, datang untuk mengajarkan Islam kepada kalian.” (HR Muslim)
Urgensi Hadits;
Ibnu Daqiq al-‘Id berkata; “Hadits ini sangat penting, meliputi semua amal perbuatan, yang dhahir dan yang batin, bahkan semua ilmu syariat mengacu kepadanya, karena semua hal yang ada dalam semua hadits, bahkan seakan menjadi Ummus Sunnah (induk bagi hadits), sebagaimana surah al-Fatihah disebut Ummul Qur’an karena ia mencakup seluruh nilai-niali yang ada dalam al-Qur’an.
Hadits ini mutawathir karena diriwayatkan dari 8 shahabat: Abu Hurairah ra., Umar ra., Abu Dzar ra., Anas ra., Ibnu ‘Abbas ra., Ibnu Umar ra., Abu ‘Amir, al-Asy’ari dan Jarir al-Bajali ra.
Fiqhul Hadits (Kandungan Hadits)
1. Memperbaiki pakaian dan penampilan
Ketika hendak masuk masjid dan hendak menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad saw. dengan penampilan dan sikap yang baik.
2. Definisi Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya pada Allah swt. secara terminologi adalah agama yang dilandasi oleh lima dasar yaitu: 1) syahadatain. 2) menunaikan shalat wajib pada waktunya dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah. 3) mengeluarkan zakat. 4) puasa di bulan Ramadlan. 5) Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
3. Secara etimologi, iman berarti pengakuan atau pembenaran. Secara terminologi, berarti pembenaran dan pengakuan yang mendalam akan:
a. Adanya Allah swt. Pencipta alam semesta yang tidak mempunyai sekutu apapun.
b. Adanya makhluk Allah swt. yang bernama malaikata. Mereka adalah hamba Allah yang mulia, tidak pernah melakukan maksiat dan selalu menurut perintah-Nya. Mereka diciptakan dari cahaya, tidak makan, tidak berjenis kelamin, tidak mempunyai keturunan dan tidak ada yang tahu jumlahnya kecuali Allah swt.
c. Adanya kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah swt. dan meyakini bahwa kitab-kitab tersebut (sebelum diubah dan diselewengkan manusia) merupakan syariat Allah.
d. Adanya rasul-rasul yang telah diutus Allah, yang dibekali dengan kitab samawi sebagai perantara untuk memberikan hidayah kepada umat manusia. Meyakini bahwa mereka adalah manusia biasa yang diistimewakan dan ma’shum (terjaga dari segala dosa).
e. Adanya hari akhir, pada hari itu Allah membangkitkan manusia dari kuburnya, lalu diperhitungkan seluruh amal perbuatannya. Amal perbuatan yang baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal perbuatan buruk akan dibalas dengan keburukan.
f. Adanya qadla dan qadar. Artinya apapun yang terjadi pada alam semesta ini merupakan ketentuan dan kehendak Allah semata, untuk satu tujuan yang hanya diketahui-Nya.
Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung dan barangsiapa yang menentangnya maka ia tersesat dan merugi. Allah swt. berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisaa’: 36)
4. Islam dan Iman;
Melalui penjelasan di atas kita pahami bahwa Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, Islam berarti Iman dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, demikian juga sebaliknya.
5. Definisi Ihsan;
Ihsan adalah ikhlash dan pernuh perhatian. Artinya sepenuhnya ikhlas untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian sehingga seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
6. Hari kiamat dan tanda-tandanya;
Tibanya hari kiamat adalah rahasia Allah. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahuinya, baik malaikat maupun rasul. Karenanya, Nabi saw. bersabda kepada Jibril: “Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya.” Meskipun demikian, Nabi Muhammad saw. menjelaskan sebagian tanda-tandanya, antara lain:
a. Krisis moral, sehingga banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya, mereka memperlakukan orang tuanya seperti perlakuan terhadap budaknya.
b. Kehidupan yang jungkir balik. Banyak orang bodoh menjadi pemimpin, pemberian wewenang kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, harta melimpah, manusia banyak yang berlaku sombong dan foya-foya, bahkan mereka berlomba dan saling meninggikan bangunan dengan penuh kebanggaan. Mereka berlaku congkak pada orang lain, bahkan mereka seakan ingin menguasainya.
7. Etika bertanya.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang akan membawa manfaat bagi dunia dan akhiratnya. Ia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu tahu ia melihat bahwa audiens (orang-orang yang hadir disitu) ingin mengetahui satu hal. Ternyata masalah tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan meskipun ia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.
Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaknya ia mengakui ketidaktahuannya agar tidak terjerumus pada hal-hal yang ia tidak mengetahuinya.
8. Metode tanya jawab.
Pendidikan modern pun mengakui bahwa metode tanya jawab adalah metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang akan diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulullah saw. dalam mendidik generasi Shahabat.

Hadis Arba’in ke 3 : Tentang Rukun Islam


Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Islam dibangun di atas lima (pondasi): 1) persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah. 2) melaksanakan shalat. 3) mengeluarkan zakat. 4) haji ke Baitullah. 5) puasa Ramadlah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kandungan Hadits:
1. Bangunan Islam
Dalam hadits ini Rasulullah saw. mengilustrasikan Islam dalam sebuah bangunan yang tertata rapi. Tegak di atas fondasi-fondasi yang kokoh. Fodasi-fondasi tersebut adalah:
a. Dua kalimat syahadat. Kesaksian tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah. Artinya, mengakui adanya Allah yang Tunggal, dan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Rukun ini ibarat fondasi bagi rukun-rukun yang lain. Nabi Muhammad saw. bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah Rasulullah.” (HR Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda: “Barangsiapa yang menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah dengan penuh keikhlasan, maka ia masuk surga.” (HR al-Bazzar)
b. Menegakkan shalat, artinya senantiasa menunaikan shalat pada waktunya dengan memenuhi semua syarat dan rukunnya, juga memperhatikan segala adab dan sunah-sunahnya, sehingga dapat memberikan manfaat kepada seorang muslim, yaitu meninggalkan segala perbuatan keji dan munkar. Allah swt. berfirman: “Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.” (al-Ankabut: 45)
c. Menunaikan zakat. Yaitu memberikan bagian tertentu dari harta yang dimiliki kepada mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat), ketika harta tersebut telah mencapai nishab (batas minimal wajib zakat) dan telah terpenuhi berbagai syarat wajib zakat. Ketika memberikan sifat bagi orang-orang mukmin, Allah swt. berfirman:
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (al-Mukminun: 4)
“Dan orang-orang yang dalam hartanya terdapat hak yang jelas, bagi orang miskin yang meminta-minta dan tidak mau meminta-minta.” (al-Ma’aarij: 24-25)
Zakat merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta benda. Melalui zakat akan tercipta keseimbangan sosial, terhapusnya kemiskinan, terjalinnya kasih sayang, dan saling menghargai sesama muslim.
d. Haji
Haji adalah pergi ke Baitullah di Makkah al-Mukarramah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Haji dilakukan dengan menjalankan semua manasik (amalan-amalan dalam ibdah haji) yang telah diajarkan Rasulullah saw.
Haji merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta dan jiwa, yang membawa berbagai dampak positif bagi individu dan masyarakat. Bahkan merupakan Muktamar Islam Internasional, dimana umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkesempatan untuk bertemu dan saling mengenal. Allah swt. berfirman:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (al-Hajj: 27-28)
Karenanya, pahala haji sangat besar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada pahala bagi haji mabrur kecuali surga.”
Ibadah haji diwajibkan pada tahun ke 6 H, melalui firman Allah: “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah…” (Ali Imraan: 97)
e. Puasa Ramadlan
Puasa Ramadlan diwajibkan pada tahun ke 3 Hijriyah, melalui firman Allah: “Bulan Ramadlan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda [antara kebenaran dan kebathilan]. Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang masuk bulan [Ramadlan] maka puasalah…” (al-Baqarah: 185)
Puasa merupakan ibadah yang dapat mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan menyehatkan tubuh. Barangsiapa yang berpuasa karena semata-mata menjalankan perintah Allah dan mencari keridlaan-Nya, maka puasa itu akan menghapus dosa-dosanya dan menjadi sarana untuk mendapatkan surga. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadlan karena keimanan dan demi mencari pahala, maka dosa-dosa masa lalunya akan diampunkan.”
2. Rukun-rukun Islam merupakan kesatuan yang paling terkait
Barangsiapa yang melaksanakan rukun-rukun tersebut secara utuh ialah seorang muslim yang sempurna imannya. Barangsiapa yang meninggalkan keseluruhannya, ia adalah kafir. Barangsiapa yang mengingkari salah satu darinya, ia bukanlah orang muslim. Barangsiapa yang meyakini keseluruhan, namun mengabaikan salah satunya –selain dua kalimat syahadat- karena malas, ia adalah orang fasik. Barangsiapa yang melaksanakan keseluruhannya dan juga mengakui secara lisan namun hanya kepura-puraan, ia adalah orang munafik.
3. Tujuan ibadah
Ibadah dalam Islam bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah mempunyai tujuan yang mulia. Shalat misalnya, tidak akan berguna jika orang yang melakukan shalat tidak meninggalkan perbuatan keji dan munkar. Puasa, tidak akan bermanfaat ketika orang yang melakukan puasa tidak meninggalkan perbuatan dusta. Haji atau zakat tidak akan diterima jika dilakukan hanya karena ingin dipuji orang lain. Meskipun demikian, bukan berarti ketika tujuan dan buah tersebut belum tercapai, ibadah boleh ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini seseorang tetap berkewajiban untuk menunaikannya seikhlas mungkin dan senantiasa berusaha mewujudkan tujuan dari ibadah yang dilakukan.
4. Cabang-cabang Iman
Perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits di atas bukanlah keleluruhan masalah yang ada dalam Islam. Penyebutan dalam hadits ini hanya terbatas pada perkara-perkara di atas, menginngat urgensi perkara-perkara tersebut. Karena masih banyak perkara-perkara lain dalam Islam yang tidak disebutkan. Rasulullah saw. bersabda: “Iman mempunyai cabang hingga tujuh puluh lebih.” (Muttafaq alaih)
5. Melalui hadits ini kita bisa memahami bahwa Islam adalah aqidah (keyakinan) dan perbuatan. Karenanya, amal perbuatan akan sia-sia tanpa adanya iman, dan iman tidak bermakna tanpa adanya amal perbuatan.

Hadis Arba’in Ke 4 : Tentang Tahapan Penciptaan Manusia



Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. yang jujur dan terpercaya bersabda kepada kami, “Sesungguhnya penciptaan kalian dikumpulkan dalam rahim ibu, selama empat puluh hari berupa nuthfah (sperma), lalu menjadi alaqah (segumpal darah) selama itu pula, lalu menjadi mudlghah (segumpal daging) selam itu pula. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan mencatat 4 (empat) perkara yang telah ditentukan, yaitu: rizky, ajal, amal dan sengsara atau bahagianya.
Demi Allah, Dzat yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya ada di antara kalian yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni surga sehingga jarak antara dia dengan surga hanya sehasta (dari siku ke ujung jari), namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk neraka.
Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga maka ia pun masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kandungan Hadits
1. Tahapan perkembangan janin
Hadits ini menjelaskan bahwa selama seratus dua puluh hari, janin mengalami tiga kali perkembangan. Perkembangan tersebutg setiap empat puluh hari. Empat puluh hari pertama janin masih berbentuk nuthfah. Empat puluh hari berikutnya berbentuk gumpalan darah. Empat puluh hari berikutnya menjadi segumpal daging. Setelah seratus dua puluh hari, malaikat meniupkan ruh ke dalamnya, dan ditetapkan bagi janin tersebut empat ketentuan di atas.
Perkembangan janin ini disebutkan juga di dalam al-Qur’an. Allah swt. berfirman: “Wahai sekalian manusia, jika kalian ragu-ragu terhadap hari kebangkitan, maka [ingatlah] sesungguhnya Aku telah menciptakanmu dari tanah, lalu dari setetes air, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging.” (al-Hajj: 5)
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (al-Mukminun: 12-14)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan empat tahapan penciptaan manusia yang ada dalam hadits di atas dan menambah tiga tahapan yang lain. Sehingga menjadi tujuh tahapan. Ibnu Abbas ra. berkata: “Anak Adam diciptakan melalui tujuh tahapan.” Lalu ia membaca ayat di atas.
Hikmah diciptakannya manusia secara bertahap, padahal sebenarnya Allah mampu untuk menciptakan secara langsung dan dalam waktu yang singkat, adalah untuk menyesuaikan dengan sunatullah yang berlaku di alam semesta. Semuanya berjalan sesuai hukum sebab akibat. Semua itu justru menandakan kekuasaan Allah yang sangat besar. Hikmah lainnya adalah, agar manusia berhati-hati dalam melakukan segala urusannya, tidak terburu-buru. Juga mengajarkan kepada manusia bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan sempurna, baik dalam masalah-masalah batin maupun dhahir, adalah melakukannya dengan hati-hati dan bertahap.
2. Peniupan Ruh
Para ulama sepakat bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika janin berusia seratus dua puluh hari, terhitung sejak bertemunya sel sperma dan ovum. Artinya, peniupan tersebut ketika janin berusia empat bulan penuh, masuk bulan ke lima. Pada masa inilah segala hukum mulai berlaku padanya. Karena itu wanita yang ditinggal mati oleh suaminya menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, untuk memastikan bahwa ia tidak hamil dari suaminya yang meninggal, agar tidak menimbulkan keraguan ketika ia menikah lagi lalu hamil.
Ruh adalah sesuatu yang membuat manusia hidup. Ini sepenuhnya urusan Allah swt. sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya, “Dan mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah, hai Muhammad, bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sangat sedikit.” (al-Isra’: 85)
3. Larangan Aborsi
Para ulama sepakat bahwa aborsi setelah ruh ditiupkan ke dalam janin adalah haram. Mereka malah menganggap bahwa aborsi adalah tindak pidana yang tidak boleh dilakukan seorang muslim, karena merupakan bentuk kejahatan terhadap manusia dalam bentuknya yang utuh. Karenanya jika dalam melakukan aborsi, janin keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka dikenakan diyat (denda yang sudah ditentukan ukurannya). Jika keluar dalam keadaan mati maka dendanya lebih ringan.
Hukum ini juga berlaku untuk aborsi sebelum masa peniupan ruh. Setidaknya ini adalah pendapat hampir seluruh ulama. Karena penciptaan manusia pada dasarnya dimulai sejak sperma membuahi sel telur (ovum) sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits Nabi, “Ketika nuthfah sudah berusia empat puluh dua hari, maka Allah mengutus malaikat untuk membentuknya, menciptakan telinga, mata, kulit, daging dan tulangnya.”
Dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab, halaman 42 disebutkan bahwa wanita dibolehkan melakukan aborsi selama ruh belum ditiupkan pada janin, ia beralasan bahwa hal itu seperti azal (mengeluarkan alat kelamin laki-laki dari alat kelamin perempuan saat ejakulasi). Namun ini adalah pendapat yang lemah. Karena janin adalah cikal bakal anak, bahkan mungkin sudah terbentuk. Sedangkan dalam azal anak sama sekali belum ada, karena sel sperma tidak bertemu sel telur.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, karya al-Ghazali jilid 2 halaman 51, disebutkan : “Azal tidak sama dengan aborsi atau mengubur bayi hidup-hidup. Karena aborsi merupakan kejahatan terhadap sesuatu yang sudah ada. Kehidupan itu sendiri mempunyai beberapa tahapan. Tahap pertama, adalah bertemunya sel sperma dan ovum dalam rahim. Maka merusak hal tersebut adalah kejahatan. Jika telah berubah menjadi segumpal darah maka tingkat kejahatannya bertambah berat. Apabila sudah menjadi segumpal daging dan telah ditiupkan ruh, maka kejahatan itu semakin bertambah berat. Kemudian kejahatan yang paling berat adalah ketika janin tersebut telah lahir menjadi bayi yang bernyawa.
4. Allah Maha Mengetahui
Sesungguhnya Allah mengetahui kondisi manusia sebelum mereka diciptakan. Keimanan, ketaatan, kekufuran, kemaksiatan, kebahagiaan dan kesengsaraan, semuanya atas pengetahuan dan kehendak Allah swt. Banyak nash yang menyatakan hal ini.
Ali bin Abi Thalib ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah satu jiwa yang telah ditiupkan ruh ke dalamnya, melainkan Allah telah mentapkan tempatnya, di surga atau di neraka. jika tidak, maka Allah telah mentapkan apakah ia bahagia atau celaka.” Seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulallah, jika demikian apakah kita kemudian pasrah dengan ketentuan kita?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tapi beramallah, karena semua dimudahkan menurut ketentuan masing-masing. Orang yang ditentukan bahagia, akan dimudahkan pada amal-amal orang yang berbahagian. Sedangkan orang yang ditetapkan sengsara akan dimudahkan pada amal-amal orang-orang yang sengsara.” Lalu beliau membaca ayat: “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik…” (al-Lail: 5-6)
Dengan demikian, maka pengetahuan Allah dalam masalah ini tidak berarti meniadakan ikhtiar (usaha) seorang hamba. Karena Allah telah memerintahkan hamba-Nya untuk beriman dan menaati perintah, juga melarang manusia dari kekufuran dan kemaksiatan, ini menunjukkan bahwa seorang hamba harus berusaha untuk mencapai apa yang ia inginkan. Jika tidak, maka perintah dan larangan Allah tersebut sia-sia belaka. Dan ini mustahil bagi Allah swt. Allah berfirman: “Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Maka sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7-10)
5. Menggunakan takdir sebagai argument.
Allah swt. telah memerintahkan kepada kita untuk meyakini dan menaati-Nya, juga melarang kita dari kekufuran dan kemaksiatan. Itulah yang telah dibebankan kepada kita. Adapun apa yang telah digariskan untuk kita, sama sekali kita tidak mengetahuinya. Karenanya, orang-orang yang kufur dan berbuat kesesatan tidak bisa menggunakan takdir sebagai argumen kekafiran dan kefasikan mereka. Allah berfirman: “Katakanlah, wahai Muhammad: beramallah kalian semua karena Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin akan mengetahui amal perbuatanmu.” (at-Taubah 105)
Adapun jika ketetapan (qadla) tersebut benar-benar telah terjadi, maka diperbolehkan menggunakan takdir sebagai argumen. Karena hal ini dapat meringankan beban orang-orang mukmin. Bahwa apapun hasil yang diterima, itulah ketetapan Allah. Perlu diingat, apapun bentuk ketetapan tersebut, itulah yang terbaik bagi seorang mukmin, baik yang berbentuk kesenangan maupun yang berbentuk kesengsaraan.
6. Yang menjadi penentu adalah bagian akhir dari amal perbuatan. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan bagian akhirnya.” (HR Bukhari) artinya, barangsiapa yang telah ditetapkan Allah beriman di akhir hayatnya. Meskipun sebelumnya dia kufur dan selalu melakukan maksiat, menjelang kematiannya ia akan beriman. Ia meninggal dalam keadaan iman dan dimasukkan ke dalam surga. Demikian pula dengan orang yang telah ditentukan kafir ataupun fasik di akhir hayatnya. Meskipun sebelumnya ia beriman, menjelang kematiannya ia akan melakukan kekufurannya. Ia meninggal dalam keadaan kufur dan dimasukkan ke dalam neraka. karenanya jangan sekali-sekali tertipu dengan sikap dan perilaku manusia yang bersifat lahiriah. Karena yang paling menentukan adalah akhir hayatnya. Jangan pula kita putus asa dengan sikap dan perilaku seseorang. Karena yang paling menentukan adalah akhir hayatnya. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama berdoa semoga Allah memberikan kepada kita keteguhan hati dalam kebenaran dan kebaikan serta memberikan kepada kita husnul khatimah di akhir hayat yang baik. Amiin.
7. Nabi Muhammad saw. sering berdoa: “Wahai Dzat yang membalik-balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agama-Mu.” Dalam riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya hati seluruh manusia berada di antara dua jari Allah, seolah-olah hanya satu hati. Allah berbuat sekehendak-Nya.” Lalu beliau berdoa: “Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan-Mu.”
8. Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Sesungguhnya akhiran yang buruk diakibatkan oleh bibit keburukan yang terpendam dalam jiwa manusia, yang tidak diketahui orang lain. Kadang-kadang, seseorang melakukan perbuatan-perbuatan ahli neraka. namun di dalam jiwanya terpendam bibit kebaikan. Maka menjelang ajalnya bibit kebaikan tersebut tumbuh dan mengalahkan kejahatannya. Sehingga ia mati dengan husnul khatimah.
Abdul Aziz bin Dawud berkata: “Aku pernah hadir pada seseorang yang sedang ditalqin (dibimbing untuk mengucapkan dua kalimat syahadat), akan tetapi ia tidak mau. Lalu aku bertanya tentang orang ini. Ternyata ia seorang peminum khamr.” Pada kesempatan lain, ia aberkata: “Berhati-hatilah dengan dosa, karena dosa bisa menjerumuskan manusia ke dalam su-ul khatimah (akhir hayat yang buruk)
9. Tahapan pertumbuhan janin yang dijelaskan dalam hadits ini, belum terdeteksi oleh ilmu kedokteran kecuali pada masa-masa akhir. Hal ini bukti kemukjizatan al-Qur’an dan as-Sunnah yang sangat nyata.
sekian.

Hadis Arba’in ke 5 : Tentang Menolak Bid’ah


Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendatangkan hal baru dalam urusan agama yang tidak termasuk bagian darinya [tidak ada dasar hukumnya] maka tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Riwayat Muslim menyebutkan, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan, tanpa didasari perintah kami, maka tertolak.”
Kandungan hadits:
1. Islam dilakukan dengan cara ittiba’ [mengikuti], bukan ibtida’ [mencipatakan]. Melalui hadits ini Rasulullah saw. menjaga kemurnian Islam dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim [singkat namun penuh makna], yang mengacu kepada berbagai nash al-Qur’an yang menyatakan bahwa keselamatan seseorang hanya akan didapat dengan mengikuti petunjuk Raulullah saw. tanpa menambah atau mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allaha: “Katakanlah wahai Muhammad, ‘Jika kalian semua mencintai Allah maka ikutilah aku, tentu Allah akan mencintai kalian.” (Ali Imraan: 31) juga dalam firman Allah: “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan [yang sesat] karena dapat mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku.” (al-An’am: 153)
2. Berbagai perbuatan yang tertolak. Hadits ini merupakan dasar yang jelas bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syar’i adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan bahwa semua perbuatan, baik yang berhubungan dengan perintah maupun larangan terikat dengan hukum syara’. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari koridor yang telah ditentukan oleh syara’, seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syara’ dan bukan syara’ yang menghukumi perbuatan. Karena itu setiap muslim wajib menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut [yang ada di luar koridor syara’] adalah bathil dan tertolak. Perbuatan-perbuatan yang ada di luar koridor syara’ ini terbagi dua, dalam ibadah dan muamalah.
a. Dalam ibadah. Jika ibadah yang dilakukan seseorang keluar dari hukum syara’, maka perbuatan tersebut tertolak. Ini termasuk dalam firman Allah swt., “Apakah mereka mempunyai sekutu, yang membuat peraturan [dalam agama] bagi mereka, yang Allah tidak mengizinkannya.” (asy-Syura: 21).
Contohnya mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari, melihat wanita atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasarkan syara’. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh Allah hingga tidak bisa melihat kebenaran bahkan kemudian selalu mengikuti langkah-langkah setan. Mereka mengklaim bahwa mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui kesesatan yang mereka ciptakan. Mereka ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab jahiliyyah yang menciptakan satu bentu ibadah dan pendekatan diri kepada Allah, sedangkan Allah tidak menurunkannya. Allah swt. berfirman, “Ibadah mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakan azab disebabkan karena kekafiranmu.” (al-Anfal: 35)
Kadang, orang menyangka bahwa jika dengan melakukan ibadah bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka pendekatana tersebut juga bisa dilakukan dengan perbuatan yang lain. Sebagai contoh, dimana Nabi Muhammad ada orang yang berpuasa sambil berdiri di bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan tidak berteduh. Lalu Rasulullah saw. menyuruhnya untuk duduk dan berteduh sambil terus menyempurnakan puasanya.
b. Mu’amalah.
Sama halnya dalam ibadah, jika tidak ada dasar syar’i, maka amalan [yang berkenaan dengan mu’amalah] yang dilakukan seseorang batal dan tertolak. Ini didasarkan oleh kejadian pada masa Rasulullah saw. Suatu saat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw. dan menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rasulullah menolaknya. Lebih lengkapnya kejadian tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. kedatangan seseorang. Orang tadi berkata: “Anakku bekerja pada si fulan, lalu berzina dengan istrinya. Saya telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan seorang pembantu.” Mendengar penuturannya Rasulullah saw. bersabda: “Seratus kambing dan pembantu dikembalikan kepadamu dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan selama setahun.”
Demikian juga semua akad [transaksi] yang dilarang oleh syara’, atau dua orang yang melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad maka akad tersebut batal dan tertolak. Permasalah ini, secara rinci bisa dibaca di buku-buku fiqih.
3. Perbuatan yang diterima
Dalam kehidupan ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariat. Bahkan sesuai atau cenderung bertentangan dengan syariat. Bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syara’. Maka perkara-perkara tersebut diterima. Para Shahabat banyak mencontoh hal ini. Seperti pengumpulan al-Qur’an di masa Abu Bakar, penyeragaman [bacaan] al-Qur’an di masa Utsman bin Affan dengan mengirimkan salinan-salinan mushaf ke berbagai penjuru disertai para qari’.
Contoh lain, penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan sebagai ilmu lainnya, baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi manusia, dan dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka bumi.
4. Bid’ah yang tercela dan bid’ah yang terpuji
Dari uraian di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syara’, maka perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syariat bahkan sesuai dan didukung oleh syariat, maka perkara tersebut baik dan sifatnya fardlu kifayah. Karena itulah Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Apa-apa yang sengaja dibuat dan tidak sesuai dengan al-Qur’an atau Sunah ataupun ijma’, maka perkara tersebut masuk dalam katagori bid’ah yang sesat. Apa-apa yang sengaja diciptakan dan bersifat baik juga tidak betentangan dengan syara’ maka masuk dalam katagori bid’ah yang baik.”
Bid’ah yang sesat pun berfariasi, ada yang makruh dan ada yang haram, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan perbuatan bid’ah tersebut seseorang bisa terjerumus dalam kekufuran dan kesesatan, misalnya: orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang mengingkari wahyu dan syariat Allah, mengajak untuk menerapkan hukum buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan. Atau orang yang bergabung dengan jama’ah-jama’ah sufi, yang meremehkan berbagai kewajiban atau mempunyai paham wihdatul wujud atau hulul [manunggaling kawula gusti] dan berbagai perilaku sesat lainnya.
Termasuk bid’ah sayi’ah atau sesat adalah pengagungan suatu benda dan minta keberkahan kepada benda tersebut, dengan keyakinan bahwa benda tersebut, dengan keyakinan bahwa benda yang dia agungkan bisa memberi manfaat, misalnya: mengagungkan pohon, batu, atau kuburan. Pernah suatu saat para shahabat lewat di samping pohon bidara yang diagung-agungkan orang musyrik. Para shahabat berkata: “Ya Rasulallah, biarkanlah kami mempunyai gantungan [senjata] sebagaimana mereka orang musyrik mempunyai gantungan.” Rasulullah bersabda: “AllaHu akbar, ini seperti yang dikatakan kaumnya Musa: ‘Buatkanlah kamu tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan.’” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengerti dan pasti kalian akan mengikuti kaum sebelum kalian.”
5. Kami sengaja menyebutkan hadits kedua: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, maka ia tertolak.” Karena sebagian ahli bid’ah membantah hadist pertama “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam perkara [ibadah] yang tidak ada dasar hukumnya maka ia tertolak.” Dengan argumen mereka, “Kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami lakukan telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami.”
Maka dengan menyebutkan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.
6. Dari hadits di atas bisa kita pahami bahwa barangsiapa yang mereka-reka satu amalan, maka dosanya ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut tertolak.
7. Setiap larangan cenderung pada dampak kerusakan.
8. Agama Islam sangat sempurna tidak ada satu kekuranganpun, tidak perlu ditambah-tambah lagi atau dikurangi.

Hadis Arba’in ke 6 : Tentang Halal Haram


Abi Abdillah Nu’man bin Basyir ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Antara keduanya ada perkara samar yang tidak diketahui banyak orang. Orang yang menghindari perkara samar, berarti memelihara agama dan harga dirinya. Sedangkan orang yang jatuh dalam perkara samar, bersarti jatuh dalam perkara haram. Seperti penggembala yang menggembala dekat daerah terlarang, tentu sangat riskan, suatu saat hewan gembalaannya pasti akan memasuki daerah terlarang itu. Ketahuilah, setiap raja memiliki daerah terlarang. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh pun baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuh pun rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kandungan Hadits:
1. Ada perkara-perkara yang jelas-jelas diperbolehkan. Ada perkara-perkara yang jelas-jelas dilarang, dan ada perkara-perkara yang syubhat [samar], yakni tidak jelas halal dan haramnya. Imam Nawawi berkata: “Segala sesuatu dibagi menjadi tiga: “
a. Jelas-jelas diperbolehkan. Seperti: makan roti, berbicara, berjalan, dan lain sebagainya.
b. Jelas-jelas dilarang: minum khamr, zina, dan lain-lain.
c. Syubhat, yakni tidak jelas boleh atau tidaknya. Karena itu banyak orang yang tidak mengetahuinya. Adapun ulama bisa mengetahui melalui berbagai dalil al-Qur’an dan sunnah, maupun Qiyas. Jika tidak ada nash dan tidak ada ijma’, maka dilakukan ijtihad.
Meskipun demikian jalan yang terbaik adalah meninggalkan perkara syubhat. Seperti: tidak bermu’amalah dengan orang yang hartanya bercampur dengan riba.
Adapun perkara-perkara yang diragukan akibat bisikan setan, bukanlah perkara syubhat yang perlu ditinggalkan. Misalnya: tidak mau menikah di suatu negeri karena khawatir yang menjadi istrinya adalah adiknya sendiri yang sudah lama tidak bertemu. Atau tiidak mau menggunakan air di tengah tempat terbuka, karena dikhawatirkan mengandung benda najis.
2. Macam-macam Syubhat.
Ibnu Mudzir membagi syubhat menjadi tiga:
a. Sesuatu yang haram, namun kemudian timbul keraguan karena tercampur dengan yang halal. Misalnya ada dua kambing, salah satunya disembelih orang kafir, namun tidak jelas kambing yang mana yang disembelih orang kafir tersebut. Dalam hal ini tidak diperbolehkan memakan daging tersebut, kecuali jika benar-benar diketahui mana kambing yang disembelih orang kafir dan mana yang disembelih mukmin.
b. Kebalikannya, yaitu sesuatu yang halal, namun kemudian timbul keraguan. Seperti: seorang istri yang ragu apakah ia telah dicerai atau belum. Atau seorang yang habis wudlu merasa ragu apakah wudlunya batal atau belum. Keraguan yang demikian itu tidak ada pengaruhnya.
c. Sesuatu yang diragukan halal haramnya. Dalam masalah ini lebih menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap kurma yang beliau temukan di atas tikarnya, beliau tidak memakan kurma tersebut karena dikhawatirkan kurma Shadaqah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ketika saya masuk rumah, saya mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk aku makan. Akan tetapi aku membatalkannya karena takut kurma itu berasal dari shadaqah.”
3. Beberapa pendapat ulama tentang syubhat.
Abu Darda’ berpendapat bahwa ketakwaan yang sempurna bagi seorang hamba adalah dengan takut kepada Allah dalam segala hal, sekecil apapun. Termasuk meninggalkan beberpa perkara yang diperbolehkan karena takut terjerumus pada perkara yang dilarang. Hasan al-Bashry berkata: “Ketakwaan senantiasa melekat pada orang-orang yang bertakwa selama ia meninggalkan beberapa hal yang diperbolehkan karena takut barang tersebut dilarang.”
ats-Tsauri berkata: “Dikatakan bertakwa, karena seseorang takut pada hal-hal yang yang sepatutnya tidak ditakutkan.”
Ibnu Umar berkata: “Saya lebih suka menjauh dari perkara-perkara yang dilarang dengan meninggalkan beberapa perkara yang diperbolehkan.”
Sufyan bin Uyainah berkata: “Seseorang tidak akan menemukan hakikat iman kecuali ia meletakkan penghalang antara dirinya dan hal-hal yang haram dengan sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara-perkara yang samar.”
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Bakar makan makanan yang syubhat, tanpa beliau sadari. Ketika beliau mengetahui bahwa beliau telah makan barang syubhat, maka beliau memasukkan jari tangan ke mulutnya hingga muntah.
Ketika Ibrahim bin Adham ditanya kenapa tidak minum air zam-zam, ia pun menjawab: “Seandainya saya punya ember niscaya saya akan minum.” Maksudnya ia ragu-ragu dengan ember yang digunakan untuk mengambil ari zam-zam pada saat itu, karena ember tersebut milik pemerintah dan dikhawatirkan tidak halal.”
4. Semua raja memiliki hima dan hima Allah di bumi adalah larangan-larangan-Nya. Tujuan perumpamaan tersebut adalah agar tampak jelas, seperti seseorang melihat tanah yang dipagari. Pada saat itu raja-raja memiliki tanah yang dipagari yang dikhususkan untuk hewan-hewan ternaknya, dan mengancam dengan hukuman yang keras bagi orang yang mendekatinya. Orang yang takut dengan hukuman raja tentu tidak akan mendekati pagar tersebut. Namun bagi orang yang tidak takut, ia akan mendekatinya dan menggembala di tepian pagar hingga melintasi pagar yang ada, akibatnya iapun mendapat hukuman.
Sebagaiman para raja, Allah swt. juga mempunyai pagar. Pagar-pagar tersebut adalah berbagai larangan-Nya. Barangsiapa yang melanggar larangan-larangan tersebut, akan mendapatkan hukuman baik di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa yang mendekati larangan, dengan melakukan perkara-perkara syubhat, maka ia pun dikhawatirkan dan bahkan bisa terjerumus pada hal yang dilarang.
5. Hati yang baik
Baik burukny seseorang, tergantung hatinya. Karena hati merupakan bagian terpenting dalam tubuh manusia. Secara medis juga demikian, hati merupakan penentu bagi seseorang, andai hati seseorang baik, maka ia akan mampu mensuplai darah dengan baik ke seluruh tubuh.
Mengacu pada hadits ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa sumber akal adalah hati. Ini juga diperkuat firman Allah, “Mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakan untuk berfikir.” (al-A’raf: 179). Konon para ahli filsafat dan ilmu kalam juga berpendapat seperti ini.
Berbeda dengan madzab Hanafi, mereka tetap mengatakan bahwa akal tetap terletak pada otak, mereka beralasan bahwa jika otak seseorang rusak, maka akal juga rusak. Ilmu kedokteran juga menyatakan bahwa semua gerak anggota tubuh adalah menuruti perintah otak.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa sumber ‘yang jauh’ dari akal adalah hati, sedangkan sumber ‘yang dekat’ dan langsung adalah otak.
Adapun yang dimaksud hadits ini adalah baiknya hati secara ruhani. Yakni kebersihan jiwa, yang ini tidak diketahui kecuali Allah swt. Ibnu Mulqin berpendapat bahwa kebaikan hati bisa dibentuk melalui lima perkara: membaca dan mentadaburi al-Qur’an, mengosongkan perut, shalat malam, bermunajat di penghujung malam, dan bergaul dengan orang-orang shalih.
Penulis al-Wafi menambahkan satu hal, yaitu makanan yang halal, karena ini adalah intinya. Ada ungkapan yang indah, “Makanan adalah bibit dari segala perbuatan. Jika yang masuk halal, maka yang keluar juga halal. Jika yang masuk haram, maka yang keluar juga haram. Jika yang masuk syubhat, maka yang kekuar juga syubhat.”
Hati yang baik adalah lambang kemenangan, Allah swt. berfirman: “Pada hari yang anak dan harta tidak membawa manfaat, kecuali orang yang datang dengan hati yang baik.” (asy-Syu’ara’: 89)
Rasulullah saw. selalu berdoa: “Ya Allah sesungguhnya saya minta diberi hati yang baik.”
Imam Nawawi berpendapat bahwa hati yang baik tersebut bisa diperoleh dengan membersihkan hati dari segala penyakit hati seperti: benci, dendam, dengki, sombong, riya’, tamak, sum’ah, curang, tama’ dan lain sebagainya. Ibnu Rajab berkata: “Hati yang baik adalah hati yang terbebas dari segala penyakit hati dan berbagai perkara yang dibenci, hati yang dipenuhi kecintaan dan rasa takut kepada Allah, dan rasa takut berjauhan dari Allah swt.”
Hasan al-Bashry pernah berkata kepada seseorang: “Obati hatimu, karena yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya adalah kebaikan hatinya.”
Hati yang baik akan menimbulkan amal perbuatan yang baik. Karenanya, jika hati itu baik dan hanya dipenuhi dengan kehendak Allah, niscaya amal perbuatannya hanya yang sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga ia bersegera dalam melakukan perbuatan yang diridlai Allah, dan meninggalkan perbuatan yang dibenci.
6. Hadits ini mendorong pada perbuatan yang halal, menjauhi perbuatan yang haram dan meninggalkan perkara-perkara syubhat. Mendorong agar senantiasa menjaga agama dan kehormatan. Mendorong untuk tidak melakukan perkara yang memancing buruk sangka dan menjerumuskan pada larangan.
7. Seruan untuk meningkatkan intelektualitas dan memperbaiki jiwa dari dalam, yakni dengan memperbaiki hati.
8. Menutup semua pintu yang mengarah pada berbagai hal yang dilarang, dan melarang semua sarana yang mengarah pada perbuatan haram.

Hadis Arba’in ke 7 : Tentang Agama adalah Nasehat


Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Dary ra. berkata, Nabi saw. bersabda: “Agama itu nasehat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untukk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin.” (HR Muslim)
URGENSI HADITS
Hadist ini merupakan ucapan yang singkat dan padat, yang hanya dimiliki oleh Nabi saw. Ucapan yang singkat namun mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Hingga tampak semua hukum syara’, baik ushul maupun furu’ terdapat padanya. Bahkan satu kalimat saja, “wa likitabiHi” sudah mencakup semuanya. Karena kitab Allah mencakup seluruh permasalahan agama, baik ushul maupun furu’, perbuatan maupun keyakinan. Allah swt. berfirman: “Tidak Aku tinggalkan sedikitpun dalam kitab ini.” (al-An’am: 38) karenanya ada ulama yang berpendapat bahwa hadits ini merupakan siklus ajaran Islam.
KANDUNGAN HADITS
1. Ketulusan kepada Allah
Hal ini terimplementasi dalam bentuk iman kepada Allah swt. tidak menyekutukan-Nya, tidak mengingkari sifat-sifat-Nya, meyakini bahwa segala kesempurnaan hanyalah milik Allah, mensucikan-Nya dari semua kekurangan, ikhlash dalam beribadah kepada-Nya, senantiasa taat, tidak berbuat maksiat, mencintai karena-Nya, membenci karena-Nya, loyal kepada orang-orang yang taat kepada-Nya, dan tidak loyal kepada orang-oran gyang berbuat maksiat kepada-Nya. komitmen terhadap masalah ini, dalam setiap ucapan maupun perbuatannya, akan mendatangkan kebaikan bagi seorang muslim, di dunia dan di akhirat.
2. Ketulusan kepada Al-Qur’an
Hal ini terimplementasi dalam bentuk iman kepada kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah swt. dan meyakini bahwa al-Qur’an merupakan penutup dari semua kitab-kitab tersebut. Ia adalah kalam Allah yang penuh dengan mukjizat, yang senantiasa terpelihara, baik dalam hati maupun dalam bentuk tulisan. Allah sendirilah yang menjamin hal itu. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kami sendiri yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Lebih rincinya, ketulusan kepada al-Qur’an dilakukan melalui beberapa hal berikut:
a. Membaca dan menghafal al-Qur’an
Dengan membaca al-Qur’an akan didapatkan berbagai ilmu dan pengetahuan. Di samping itu, akan melahirkan kebersihan jiwa, kejernihan perasaan dan mempertebal ketakwaan. Membaca al-Qur’an merupakan kebaikan dan merupakan syafaat yang akan diberikan pada hari kiamat kelak.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Bacalah al-Qur’an, karena pada hari kiamat, al-Qur’an akan datang untuk memberi syafaat kepada orang yang membacanya.”
Sedangkan menghafal al-Qur’an merupakan keutamaan yang sangat besar. Melalui hafalan hati akan lebih hidup dengan cahaya kitabullah, manusia juga akan segan dan menghormatinya. Bahkan dengan hafalan itu derajatnya di akhirat akan semakin tingi, sesuai dengan banyaknya hafalan yang dimiliki.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dikatakan kepada orang yang menghafal al-Qur’an: bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia dengan tartil. Karena kedudukanmu [di surga] sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
b. Membaca dengan tartil dan suara yang bagus, sehingga bacaannya dapat masuk dan diresapi. Rasulullah saw. bersabda: “Bukan golongan kami orang yang tidak membaca al-Qur’an dengan irama.” (HR Muslim)
c. Mentaddaburi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayat. Allah swt. berfirman: “Apakah mereka tidak mentaddaburi al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (Muhammad: 24)
d. Mengajarkannya kepada generasi muslim, agar mereka ikut berperan dalam menjaga al-Qur’an. Mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an adalah kunci kebahagiaan dan izzah umat Islam. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang memperlajari dan mengajarkan al-Qur’an.” (HR Bukhari)
e. Memahami dan mengamalkannya. Tidaklah baik membaca al-Qur’an namun tidak berusaha memahaminya. Tidaklah baik memahami al-Qur’an namun tidak mengamalkannya. Bagaimanapun, buah dari membaca al-Qur’an baru akan kita peroleh setelah memahami dan mengamalkannya. Karenanya alangkah buruknya, jika kita memahami namun kita tidak mau mengamalkannya. Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan yang tidak kalian lakukan. Dosa besar di sisi Allah jika kalian mengatakan tapi tidak mau menjalankan.” (ash-Shaff: 2-3)
3. Ketulusan kepada Rasulullah saw.
Hal ini terimplementasi dalam bentuk membenarkan risalahnya, membenarkan semua yang disampaikan, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah, mencintai dan menaatinya. Mencintai Rasul secara otomatis mencintai Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Katakanlah [wahai Muhammad], ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku [Muhammad] niscaya kalian dicintai Allah.” (Ali ‘Imraan: 31).
Ketaatan kepada Rasulullah saw. secara otomatis menaati Allah, “Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka ia telah menaati Allah.” (an-Nisaa’: 80)
Ketulusan kepada Rasulullah sepeninggalan beliau, dilakukan dengan cara mempelajari sirah, mencontoh akhlak dan adabnya, komitmen dengan sunnahnya, senantiasa mengambil manfaat dan pelajaran dari kehidupannya, ikut andil dalam penyebaran sunnah [hadits] di tengah-tengah masyarakat, dan itu serta membantah berbagai tuduhan bohong yang dilemparkan para musuh dan penentang Rasulullah saw.
4. Ketulusan para pemimpin
Pemimpin orang-orang muslim adalah para penguasa, wakil-wakilnya atau para ulama. Agar penguasa ditaati, maka penguasa tersebut harus dari orang Islam sendiri. Allah berfirman, “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul dan penguasa dari kalian.” (an-Nisaa’: 59).
Ketulusan kepada para pemimpin adalah dengan menyukai kebaikan, kebenaran dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Juga karena melalui kepemimpinannya, kemashlahatan kita bisa terpenuhi. Kita juga senang dengan persatuan umat dibawah kepemimpinan mereka yang adil, dan membenci perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
Ketulusan kepada para pemimpin, juga dilakukan dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada dalam rel kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan cara yang baik. Karena tidak ada kebaikan, masyarakat yang tidak mau menasehati penguasanya, dan masyarakat yang tidak mau mengatakan kepada penguasanya yang dhalim “anda dhalim”. Juga tidak ada kebaikan, penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam orang-orang yang berusaha menasehatinya, menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar suara-suara kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, yang terjadi justru kerendahan dan kehancuran. Ini sangat mungkin terjadi jika masyarakat muslim telah menyeleweng dan jauh dari nilai-nilai Islam.
Adapun para ulama, ketulusan kepada kitab Allah dan sunnah Rasul, dilakukan dengan cara meng-counter berbagai pendapat sesat yang berkenaan dengan al-Qur’an dan sunnah. Menjelaskan berbagai hadits, apakah hadits tersebut shahih atau dla’if.
Mereka juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk selalu menasehati para penguasa, senantiasa menyerukan agar mereka berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka lalai dalam mengemban tanggung jawab ini, hingga tidak ada satupun orang yang menyuarakan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allah akan menghisabnya. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya jihad yang paling mulia adalah mengatakan kebenaran di depan penguasa yang semena-mena.” Mereka juga akan dimintai pertanggungjawaban jika mereka justru memuji penguasa yang semena-mena, bahkan kemudian menjadi corong mereka.
Sedangkan ketulusan kita kepada para ulama, adalah dengan senantiasa mengingatkan mereka akan tanggung jawab tersebut, mempercayai hadits-hadits yang disampaikan jika memang mereka orang bisa dipercaya. Juga dengan jalan tidak mencerca mereka, karena hal tersebut dapat mengurangi kewibawaannya dan menjadikan mereka bahan tuduhan.
5. Ketulusan kepada kaum Muslimin
Ketulusan kepada kaum muslimin bisa dilakukan dengan cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Sangat disayangkan bahwa kaum muslim telah mengabaikan tugas ini. Mereka tidak mau menasehati muslim yang lain. Khususnya yang berkaitan dengan urusan akhirat.
Nasehat yang dilakukan , seharusnya tidak terbatas dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengna amalan. Dengan demikian nasehat tersebut akan terlihat nyata dalam masyarakat muslim, sebagai penutup keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah terhadap bahaya, pengambilan manfaat, amar ma’ruf nahi munkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap yang lebih kecil, dan menghindari penipuan dan kedengkian. Meskipun harus bertaruh jiwa dan harta.
6. Nasehat yang paling baik
Yaitu nasehat yang diberikan ketika seseorang dimintai nasehat. Rasulullah bersabda: “Jika seseorang minta dinasehati maka nasehatilah ia.” Termasuk ketulusan yang paling baik adalah yang dilakukan saat orang itu tidak ada di hadapannya. Ini dengan cara menolong dan membelanya. Ini bukti ketulusan yang sungguh-sungguh. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya termasuk hak seorang muslim terhadap muslim yang lain adalah tetap tulus meskipun tidak ada di hadapannya.”
7. Pendapat ulama seputar nasehat
Hasan al-Bahsry berkata: “Sesungguhnya engkau belum terhitung menasehati saudaramu, sebelum engkau menasehatinya untuk melakukan sesuatu yang tidak ia mampu melakukannya.”
Ia juga menyebutkan bahwa beberapa shahabat pernah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang yang paling dicintai Allah, adalah orang yang menyebabkan Allah mencintai hamba-Nya, menyebabkan cinta kepada Allah dan melakukan nasehat.”
Abu Bakar al-Mazni berkata: “Yang menjadikan Abu Bakar lebih tinggi derajatnya dari pada shahabat-shahabat lainnya bukanlah puasa ataupun shalat. Akan tetapi karena sesuatu yang ada di dalam hatinya. Yang ada di hatinya adalah kecintaan kepada Allah dan nasehat terhadap makhluk-Nya.
Fudhail bin Iyadh berkata: “Kemuliaan yang diperoleh oleh generasi kami, bukanlah karena shalat dan puasa. Namun karena kemurahan hati, lapang dada dan suka memberi nasehat.
8. Adab-adab nasehat
Di antara adab nasehat dalam Islam adalah menasehati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena barangsiapa yang menutupi keburukan saudaranya, maka Allah akan menutupi keburukannya di dunia dan di akhirat. Sebagian ulama berkata: “Barangsiapa yang menasehati seseorang dan hanya ada mereka bedua, maka itulah nasehat yang sebenarnya. Barangsiapa yang menasehati saudaranya di depan banyak orang, maka yang demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasehati.”
Fidhail bin Iyadh berkata: “Seorang mukmin adalah orang yang menutupi aib dan menasehatinya. Sedangkan orang fasik adalah orang yang merusak dan mencela.”
9. Beberapa ibrah yang disinyalir oleh Ibnu Bathal:
a. Nasehat adalah islam itu sendiri. Sementara Islam dilakukan melalui ucapan dan perbuatan.
b. Nasehat merupakan fardlu kifayah
c. Orang yang measa yakin bahwa orang yang akan dinasehati, akan menerima dan tidak akan bereaksi negatif, maka dalam konsisi seperti ini, wajib baginya untuk memberikan nasehat. Namun jika sebaliknya, justru orang yang dinasehatai akan bereaksi sehingga membahayakan jiwa, maka dalam kondisi ini ia bisa memlikih, menasehati atau tidak.

Hadis Arba’in ke 8 : Tentang Haramnya Darah Mukmin ntuk Dibunuh


Ibnu Umar Ra. berkata Rasulullah saw. bersabda: “Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukan itu berarti telah melindungi darah dan harta mereka kecuali dengan alasan yang dibenarkan Islam, sedangkan perhitungan mereka [termasuk baik atau buruk] adalah wewenang Allah swt. (HR Bukhari dan Muslim)
URGENSI HADITS
Hadits ini sangat penting, karena memuat perkara-perkara yang fundamental dari berbagai dasar Islam. Perkara-perkara tersebut adalah Syahadat, dengan meyakini sepenuhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat.
KANDUNGAN HADITS
1. Riwayat hadits
Hadits ini diriwayatkan dalam berbagai bentuk. Bukhari meriwayatkan dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat seperti shalat kami, menghadap kiblat kami, makan sembelihan kami, maka diharamkan bagi kami jiwa dan harta benda mereka, kecuali dengan ketetapan hukum Islam.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka memenuhinya, maka mereka telah terjaga (terpelihara jiwa dan hartanya) kecuali dengan ketetapan hukum Islam, sedangkan hisabnya berada di sisi Allah.
2. Mengucapkan syahadatain
Sebenarnya, hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang telah terpelihara jiwa dan hartanya. Hal ini didasari pada apa yang terjadi di masa Rasulullah saw. Pada saat itu Rasulullah saw. menerima orang yang datang kepadanya untuk masuk Islam dengan hanya mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu mereka sudah dianggap muslim yang terpelihara jiwa dan hartanya.
Hal ini juga didukung oleh sebuah hadits shahih yang senada dengan hadits di atas. Namun tidak menyebutkan masalah shalat dan zakat. “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka berkata, ‘Saya bersaksi tiada tuhan selain Allah.’ Barangsiapa yang mengatakan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah.’ Maka jiwa dan hartanya terpelihara. Kecuali dengan ketetapan hukum Islam. Sedangkan kejujurannya adalah urusan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sementara riwayat Muslim menyebutkan, “Sehingga mereka bersaksi tiada tuhan selain Allah, beriman kepadaku dan beriman kepada apa yang aku bawa.”
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Tiada tuhan selain Allah’ dan mengingkari sesembahan selain Allah, maka Allah mengharamkan jiwa dan hartanya. Sedangkan kejujurannya adalah urusan Allah.”
Bukti lainnya adalah pengingkaran Nabi terhadap Usamah bin Zaid karena membunuh orang yang mengucapkan “Laa ilaaHa illallaaH.”
Berbagai hadits di atas tidaklah bertentangan, bahkan semuanya benar. Sekedar mengucapkan syahadatain, seseorang telah terpelihara jiwa dan hartanya serta dianggap sebagai muslim. Jika setelah itu ia mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat muslim lainnya. Akan tetapi jika ia meninggalkan salah satu dari rukun Islam, dan ia didukung oleh kelompok yang kuat dan berpengaruh, maka mereka harus diperangi. Allah Ta’ala berfirman: “Jika mereka taubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka..” (at-Taubah: 5)
Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, maka mereka adalah saudaramu seagama…” (at-Taubah: 11)
Bukti lain adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. setiap hendak menyerang satu kaum. Jika beliau dan pasukannya sampai di tempat kaum yang dimaksud pada malam hari, beliau menunggu pagi dan tidak langsung menyerang. Jika terdengar adzan, beliau pun membatalkan penyerangan.
3. Perdebatan antara Abu Bakar dan Umar
Yaitu seputar keharusan memerangi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat adalah bukti bahwa dengan hanya mengucapkan syahadatain seseorang telah masuk Islam. Juga bukti bahwa memerangi orang yang menolak untuk membayar zakat, hanya bisa dilakukan ketika mereka dalam bentuk kelompok.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa setelah Nabi sawa. Wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, banyak orang Arab yang kufur. Saat itulah Umar berkata kepada Abu Bakar, “Mengapa engkau memerangi mereka [pembangkang zakat]? Padahal Rasulullah saw. bersabda: ‘Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berkata: saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Barangsiapa mengatakan ‘Tiada tuhan selain Allah.’ Maka jiwa dan hartanya terpelihara. Kecuali dengan ketetapan hukum Islam. Sedangkan kejujurannya adalah urusan Allah.’”
Abu Bakar ra. menjawab: “Demi Allah akan aku perangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat, karena zakat merupakan hak dari harta. Siapapun yang tidak mengeluarkan zakat meskipun hanya sedikit, yang dulu mereka keluarkan kepada Rasulullah, niscaya aku perangi.” Umar berkata: “Demi Allah, saya merasa bahwa Allah telah memberi petunjuk kepada Abu Bakar untuk memerangi mereka. Dan saya melihatnya sebagai hal yang benar.”
Sikap Abu Bakar ra. dalam memerangi orang yang menolak membayar zakat adalah mengacu pada kalimat “illaa bihaqiHi”[kecuali dengan ketetapan hukum Islam]. Sedangkan Umar ra. menyangka bahwa cukup dengan dua kalimat syahadat seseorang telah terpelihara jiwa dan hartanya, yakni dengan mengacu pada keumuman bagian awal dari hadits. Namun setelah mendengar penjelasan Abu Bakar, ia pun setuju.
Bisa dipastikan, Abu Bakar dan Umar ra belum mengetahui hadits yang diriwayatkan Ibu Umar ra. yang jelas-jelas merupakan perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Bisa jadi hal itu karena disaat keduanya berdebat Ibnu Umar tidak ada disitu.
Kisa di atas juga mengisyaratkan ketinggian ilmu Abu Bakar dan kejeliannya menyimpulkan sebuah hukum. Sehingga apa yang dilakukan sesuai dengan nash, meskipun ia tidak mengetahuinya. Melalui kisah perdebatan Abu Bakar ra. dan Umar ra. di atas, bisa juga kita pahami bahwa perintah untuk memerangi orang yang tidak mau mendirikan shalat merupakan sesuatu yang disepakati oleh para shahabat ra.
Muslim meriwayatkan dari Ummu Salama ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kalian akan dipimpin oleh para penguasa yang sewenang-wenang. Di antara kalian ada yang berdiam saja, dan ada yang mengingkari. Barangsiapa yang mengingkarinya maka ia terbebas dari dosa. Barangsiapa hanya menahan kebencian, maka ia selamat. Akan tetapi barangsiapa yang rela bahkan mengikuti, maka ia ikut menanggung dosa.” Para shahabat bertanya: “Ya Rasulallah, tidakkah kami memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Jangan, selama mereka melakukan shalat.”
4. Hukum bagi orang yang meninggalkan semua rukun Islam
Jika mereka satu kelompok yang kuat dan berpengaruh, maka mereka harus diperangi, sebagaimana orang menolak membayar zakat dan tidak mau mendirikan shalat. Ibnu Syihab az-Zuhry meriwayatkan dari Handlalah Ibnu Abi Ibnu Asqa’ bahwa Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid untuk memerangi manusia karena lima hal. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu dari lima hal tersebut, maka tetap juga diperangi, sebagaimana mereka meninggalkan kelimanya. Kelima hal itu adalah:
a. Syahadatain
b. Mendirikan shalat
c. Mengeluarkan zakat
d. Puasa Ramadlan
e. Haji
Sa’id bin Jubair meriwayatkan bahwa Umar ra. berkata, “Seandainya sekelompok orang meninggalkan haji niscaya kami akan memerangi mereka sebagaimana kami memerangi mereka manakala mereka meninggalkan shalat dan zakat.”
Jika seorang muslim meninggalkan dan tidak mau melaksanakan salah satu dari rukun Islam. Menurut madzab Maliki dan Syafi’i, ia harus dibunuh, sebagai hukuman jika yang ditinggalkan adalah shalat. Sedangkan menurut Ahmad, Ishaq dan Ibnu Mubarak, ia harus dibunuh karena telah kafir.
Adapun yang menolak membayar zakat, tidak mau puasa dan menunaikan ibadah haji, menurut madzab Syafi’i ia tidak dibunuh. Sedangkan menurut Imam Ahmad –dalam pendapatnya yang paling masyhur- ia harus dibunuh.
5. Iman yang diharapkan.
Hadits ini menjelaskan bahwa iman yang diharapkan oleh syariat adalah pengakuan yang mendalam dan keyakinan terhadap rukun-rukun Islam tanpa keraguan sedikitpun. Sedangkan pengetahuan sebagai dalil bagi keimanan tersebut bukan syarat sahnya iman. Artinya seseorang hanya dituntut untuk yakin terhadap apa yang diwaha Nabi Muhammad saw. dan tidak disyaratkan untuk mengetahui dalil-dalilnya.
6. Maksud kalimat illaa bihaqqiHaa “Kecuali dengan haknya”
Dalam riwayat yang lain illaa bihaqqil islaam “kecuali hak Islam”, oleh Abu Bakar, sebagaimana kisah yang telah lalu, dipahami bahwa hal tersebut adalah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan puasa dan haji ke dalam hak tersebut. Termasuk juga perbuatan yang menjadikan jiwa seorang muslim tidak terpelihara [misalnya membunuh, zina dan sebagainya].
Lebih jelasnya kalimat “kecuali dengan haknya” bisa kita lihat penjabarannya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Jarir ath-Thabari, dari Anas ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka berkata: ‘Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah.’ Jika mereka mengatakannya maka jiwa dan harta mereka terpelihara, kecuali dengan haknya. Sedangkan kejujurannya urusan Allah.” Seorang shahabat bertanya: “Lantas apa yang dimaksud dengan haknya?” Rasulullah saw. menjawab: “Zina setelah menikah, murtad dan membunuh. Maka ia dijatuhi hukuman mati karena telah melakukan hal-hal tersebut.”
Dipertegas lagi oleh hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw. bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kecuali diakibatkan oleh salah satu dari tiga hal; orang tua yang berzina [telah menikah], membunuh dan murtad.”
7. Perhitungan di akhirat adalah urusan Allah.
Adapun ketika di akhirat maka Allah lah yang akan menghisabnya, karena hanya Allah lah yang tahu masalah isi hati. Jika seseorang ternyata benar-benar beriman maka ia pun masuk surga. Namun jika ternyata ia dusta dan keislamannya hanya pura-pura, maka ia adalah munafik dan akan bertempat di neraka yang paling bawah. Adapun tugas Rasulullah dan para da’i di dunia hanyalah mengingatkan dan menasehati.
Firman Allah yang artinya: “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Tetapi orang yang berpaling dan kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. Sesungguhnya kepada kamilah kembalinya mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban kamilah menghisab mereka.” (al-Ghaasyiyah: 21-26)
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk melihat hati manusia dan menyingkap batinnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
8. Memerangi penyembah berhala adalah wajib, hingga mereka masuk Islam
9. Jiwa dan harta seorang Muslim terpelihara.